Minggu, 03 Januari 2016

makalah kepiting bakau



MAKALAH MANAJEMEN HATCHERY
“Filum Krustase (Kepiting Bakau)”

Nama: Paulina Bakker
Nim: 2012-65-171
Prodi: BDP





FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2015


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang

Kepiting bakau ( Scilla seratta) merupakan salah satu sumberdaya hayati perairan bernilai ekonomis tinggi, serta merupakan salah satu jenis komoditas perikanan yang potensial untuk di budidayakan. Jenis biota ini telah dibudidayakan secara komersial di beberapa negara tropis (Giles, 2000). Kepiting bakau telah dikenal baik di pasaran dalam negeri maupun luar negeri karena rasa dagingnya yang lezat dan bernilai gizi tinggi yakni mengandung berbagai nutrisi penting seperti mineral dan asam  lemak ω-3 (Catacutan, 2002).  
Kebutuhan konsumen akan  kepiting bakau selama ini sebagian besar masih dipenuhi dari hasil penangkapan di alam yang sifatnya fluktuatif. Seiring dengan meningkatnya permintaan konsumen akan kepiting terutama di pasaran  internasional membawa implikasi terhadap upaya untuk memproduksi kepiting bakau melalui budidayanya secara intensif. Dari empat spesies kepiting bakau yang terdapat diperairan Indonesia, S. paramamosain merupakan salah satu diantaranya yang potensial untuk dibudidayakan.  Spesises ini memeliki kelebihan  kepiting betina sudah matang gonad pada ukuran lebar karapas 8 cm (Rusdy, 1993).   

B.     Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui beberapa aspek yang perlu di ketahui dalam membudidayakan kepiting bakau.








BAB II
PEMBAHASAN

A.    FILUM KRUSTASE

1.      KARAKTERISTIK BIOLOGIS KRUSTASE
Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu jenis komoditas perikanan yang potensial untuk dibudidayakan.Kepiting bakau banyak dijumpai di perairan payau yang banyak ditumbuhi tanaman mangrove. Kepiting bakau sangat disenangi oleh masyarakat mengingat rasanya yang lezat dengan kandungan nutrisi sejajar dengan crustacea yang lain seperti udang yang banyak diminati baik dipasaran dalam negeri maupun luar negeri.
Ø  Klasifikasi Kepiting Bakau Scylla serrata

Kepiting bakau mempunyai beberapa spesies antara lain Scylla serrata, Scylla transquebarica, dan Scylla oceanic.(Kanna 2002). Menurut Kasry (1991) Kepiting bakau diklasifikasikan sebagai berikut.
Filum  : Arthropoda
Kelas  : Crustacea
Ordo  : Decapoda
Subordo : Branchyura
Famili  : Portunidae
Sub Famili : Lipulinae
Genus  :Scylla
Spesies :Scylla serrata
Gambar 1. Kepiting Bakau
Ø  Morfologi Kepiting bakau

Kepiting bakau tergolong kelas Krustasea dan ordo Dekapoda, dengan ditandai oleh adanya 5 pasang kaki. Pasangan kaki pertama disebut capit yangberperan sebagai alat  pemegang/penangkap makanan, pasangan kaki kelimaberbentuk seperti kipas (pipih) dan berfungsi sebagai kaki renang, dan pasangankaki lainnya berfungsi sebagai kaki jalan (Kordi 2012). Kemudian menurutLembaga Oceanologi Nasional (1973) kepiting bakau merupakan salah satu jenisdari sub ordo Branchyura, yang memiliki bentuk melebar melintang, serta bagian
6 perutnya tidak terlihat karena melipat ke dadanya, tidak ada duri ekor dan daunekor, adapun kepiting jantan memiliki bentuk perut sempit dan meruncing kedepan sedang betina melebar dan setengah lonjong, banyak ditemukan di tambakikan dekat pantai, hidup dalam lubang-lubang atau terdapat pada pantai-pantaiyang ditumbuhi pohon mangrove, dan memiliki warna hijau kotor. Genus Scylla ditandai oleh bentuk karapas yang oval dengan bagian depanyang memiliki 9 duri pada pada sisi kanan dan kiri, serta 6 duri di antara keduamatanya (Kordi 2012).
Gambar morfologi kepiting bakau
Kedua matanya menempel di tepi bagian depan karapasyang juga dilengkapi dengan tangkai, sehingga kedua matanya dapat digerakgerakkanlebih leluasa. Jika ada gangguan dari luar, sebagai perlindunganmatanya ditempelkan rapat-rapat ke kelopaknya, serta di antara kedua matanya initerletak mulutnya (Soim 1994).Panjang karapasnya kurang lebih dua pertiga dari lebarnya, permukaan karapasnya hampir semuanya licin kecuali pada beberapa lekuk berbintik kasar (Kordi 2012).Kepiting bakau jantan dewasa memiliki ukuran capit yang lebih besardaripada betina untuk umur dan ukuran tubuh yang sama (Kordi 2012). Namun,pada kepiting betina atau kepiting jantan muda capitnya lebih pendek         (Soim 1994). Jika dalam keadaan normal capit kanan lebih besar dari capit kiri dengan warna kemerahan pada masing-masing ujung capit (Kasry 1991).

Ø  Ciri-ciri dan sifat biologis Kepiting Bakau

Ciri- ciri kepiting bakau menurut Kasry (1996) adalah sebagai berikut: karapas berwarna sedikit kehijauan, pada kiri-kanannya terdapat Sembilan buah duri-duri tajam, dan pada bagian depannya diantaranya tangkai mata terdapat enam buah duri, sapit kanannya lebih besar dari sapit kiri dengan warna kemerahan pada kedua ujungnya, mempunyai tiga pasang kaki pejalan dan satu kaki perenang yang terdapat pada ujung abdomen dengan bagian ujungnya dilengkapi dengan alat pendayung.
Gambar. 1. Kepiting bakau Scylla serrata

          Kepiting adalah binatang crustacea berkaki sepuluh, yang biasanya mempunyai "ekor" yang sangat pendek (bahasa Yunani: brachy = pendek, ura = ekor), atau yang perutnya sama sekali tersembunyi di bawah thorax. Hewan ini dikelompokkan ke dalam Phylum Athropoda, Sub Phylum Crustacea, Kelas Malacostraca, Ordo Decapoda, Suborder Pleocyemata danInfraorder Brachyura. Tubuh kepiting umumnya ditutupi dengan exoskeleton (kerangka luar) yang sangat keras, dan dipersenjatai dengan sepasang capit. Kepiting hidup di air laut, air tawar dan darat dengan ukuran yang beraneka ragam, dari pea crab, yang lebarnya hanya beberapa millimeter.Menurut Prianto walaupun kepiting mempunyai bentuk dan ukuran yang beragam tetapi seluruhnya mempunyai kesamaan.
Pada bentuk tubuh.Seluruh kepiting mempunyai chelipeds dan empat pasang kaki jalan. Pada bagian kaki juga dilengkapi dengan kuku dan sepasang penjepit, chelipeds terletak di depan kaki pertama dan setiap jenis kepiting memiliki struktur chelipeds yang berbeda-beda. Chelipeds dapat digunakan untuk memegang dan membawa makanan, menggali, membuka kulitkerang dan juga sebagai senjata dalam menghadapi musuh. Di samping itu, tubuh kepiting juga ditutupi dengan Carapase.Carapase merupakan kulit yang keras atau dengan istilah lain exoskeleton (kulit luar) berfungsi untuk melindungi organ dalam bagian kepala, badan dan insang. Kepiting sejati mempunyai lima pasang kaki; sepasang kaki yang pertama dimodifikasi menjadi sepasang capit dan tidak digunakan untuk bergerak. Di hampir semua jenis kepiting, kecuali beberapa saja (misalnya, Raninoida), perutnya terlipat di bawah cephalothorax. Bagian mulut kepiting ditutupi oleh maxilliped yang rata, dan bagian depan dari carapase tidak membentuk sebuah rostrum yang panjang. Insang kepiting terbentuk dari pelat-pelat yang pipih (phyllobranchiate), mirip dengan insang udang, namun dengan struktur yang berbeda.Insang yang terdapat di dalam tubuh berfungsi untuk mengambil oksigen biasanya sulit dilihat dari luar.Insang terdiri dari struktur yang lunak terletak di bagian bawah carapase. Sedangkan mata menonjol keluar berada di bagian depan carapase.

Ø  Kebiasaan Makan
Kepiting bakau termasuk hewan predator agresif,claw digunakan untuk membukadan memakan bivalvia,siput dan barnekel. Mereka dapat memakan kepiting,udangserta ikan. Saat fase larva,kepiting memakan plankton. Juvenil kepiting muda jarang terlihat di daerah bakau, karena lebih suka membenamkan diri ke dalam lumpur, sedangkan kepiting bakau dewasa biasanyakeluar dari persembunyiannya beberapa saat setelah matahari terbenam danbergerak sepanjang malam terutama untuk mencari makan.Kepiting bakau dalamsemalam mampu mencapai jarak 219-910 m untuk aktivitasnya mencari makan.Kepiting bakau kembali membenamkan diri ketika matahari akan terbit,sehinggakepiting bakau digolongkan hewan malam (Soim 1994).Kepiting adalah hewan yang hidup di dasar perairan dan merupakan karnivor (Kordi 2012).Kepiting yang masih berbentuk larva menyukai pakan berupa plankton atau kutu air yang berukuran kecil, sesuai dengan ukuran mulut kepiting yang juga relatif kecil.Jika telah mencapai fase megalops, kepitingmenyukai organisme yang berukuran relatif lebih besar. Kepiting yang telah dewasa lebih senang memakan daging, bahkan bangkai juga disukainya    (Afrianto dan Liviawaty 1992). Menurut Kasry (1991) bahwa kepiting yang akan makan dengan cara menyerang musuhnya dengan menangkap menggunakan capit,selanjutnya merobek-robek makanannya. Makanan tersebut akan dibawa ke mulut dengan bantuan kedua capitnya, didalam mulut makanan tidak langsung masuk kedalam perut tetapi disaring dahulu dan hanya bahannya yang dapat dimakan yang terus masuk ke dalam perut (Afrianto dan Liviawati 1992).
Ø  Habitat Kepiting bakau

Habitat kepiting bakau (Scylla serrata) adalahestuaria, daerah hutan bakau dan daerah lepas pantaiyang mempunyai subtrat dasar perairan berlumpur(Rattanachote dan Dangwatanakul, 1991).Siklushidup kepiting dimulai dari stadium telur sampai megalopa berada di perairan laut dan setelah masukstadia kepiting sampai dewasa berada di daerahpasang surut atau hutan bakau (Kuntiyo, 1993).Kepiting bakau memanfaatkan wilayah hutan bakau sebagai daerah mencari makan dan perlindungansampai biota tersebut dewasa, sebelum kembalikepantai untuk kawin dan bertelur.Keberadaankepiting di wilayah hutan bakau dalam kaitan denganstrategi reproduksi adalah pemenuhan unsur nutrisi,pencapaian tingkat kematangan gonad danfekunditas. Dinyatakan oleh Kasri ( 1991 ) bahwakeberadaan kepiting bakau di daerah pantai dan hutanbakau merupakan bagian dari strategi kehidupannyauntuk mencapai pertumbuhan dan berkembangdewasa dengan mendapatkan makanan yangmencukupi.
Kepiting bakau yang mencapai tahapdewasa dan memasuki tahap reproduksi, akanmemanfaatkan keberadaannya di wilayah pantai danestuaria untuk mencari makanan yang bervariasi danmencukupi untuk mendukung proses reproduksitersebut. Ditambahkan oleh Juwana dan Romimohtarto ( 2000 ) bahwa pemanfaatan wilayahpantai dan hutan bakau terhadap proses reproduksidan pematangan telur tersebut ditandai dengan banyaknya hasil tangkapan kepiting bakau dalamkeadaan matang telur di wilayah pesisir dan pantai.Lebih lanjut ditambahkan bahwa jumlah telur danberat kepiting terkait erat dengan daerah pantaitempat kepiting tersebut ditangkap.



Biologi Kepiting Bakau
  • Reproduksi dilakukan di perairan laut, telur setelah dibuahi ditempelkan di bagian perut, di balik karapag yang berumbai-umbai, dierami selama 10-12 hari, larva kepiting bakau berkembang dari stadia zoea 1-5 selama 18-20 hari, megalopa selama 5-7 hari dan mencapi stadia crablet yang mengalami moulting pada setiap 4-7 hari hingga menjadi bibit berukuran rata-rata 30-50 g/ekor  (panjang 2-5 cm) yang dicapai selama 50-70 hari.
  • Kualitas air yang dibutuhkan untuk hidup dan dapat tumbuh secara baik yaitu: kadar garam 10-25 ppt, suhu 28-330C, pH 7,5-8,5 dan DO lebih dari 5 ppm.
  • Perilaku kepiting bakau bersifat kanibal, kepiting yang tidak sedang moulting sering dijumpai memakan kepiting yang sedang moulting.
  • Pakan untuk kepiting bakau yaitu dari berbagai jenis binatang seperti ikan rucah, amphibia, reptilia, jeroan dari limbah pemotongan ayam, juga suka diberi pakan udang yang berupa pelet kering, kelas grower. Pakan larva berupa phytoplankton (Chaetoceros sp, dan Tetraselmis sp) dan zooplankton (Brachionus sp dan Artemia
Secara umum tingkah laku dan kebiasaan kepiting bakau yang dapat diamati adalah sbb:
  1. Suka berendam dalam lumpur dan membuat lubang pada dinding atau pematang tambak pemeliharaan. Dengan mengetahui kebiasaan ini, maka kita dapat merencanakan atau mendesain tempat pemeliharaan sedemikian rupa agar kemungkinan lolosnya kepiting yang dipelihara sekecil mungkin.
  2. Kanibalisme dan saling menyerang, sifat inilah yang paling menyolok pada kepiting sehingga dapat merugikan usaha penanganan hidup dan budidayanya. Karena sifatnya yang saling menyerang ini akan menyebabkan kelulusan hidup rendah dan menurunkan produktivitas tambak. Sifat kanibalisme ini yang paling dominan ada pada kepiting jantan, oleh karena itu budidaya monosex pada produksi kepiting akan memberikan kelangsungan hidup lebih baik.
  3. Molting atau ganti kulit. Sebagaimana hewan jenis crustacea, maka kepiting juga mempunyai sifat seperti crustacea yang lain, yaitu molting atau ganti kulit. Setiap terjadi ganti kulit, kepiting akan mengalami pertumbuhan besar karapas maupun beratnya. Umumnya pergantian kulit akan terjadi sekitar 18 kali mulai dari stadia instar sampai dewasa. Selama proses ganti kulit, kepiting memerlukan energi dan gerakan yang cukup kuat, maka bagi kepiting dewasa yang mengalami pergantian kulit perlu tempat yang cukup luas. Pertumbuhan kepiting akan terlihat lebih pesat pada saat masih muda, hal ini berkaitan dengan frekuensi pergantian kulit pada saat stadia awal tersebut. Periode dan tipe frekuensi ganti kulit penting artinya dalam melakukan pola usaha budidaya yang terkait dengan desain dan konstruksi wadah, tipe budidaya dan pengelolaanya.
  4. Kepekaan terhadap Polutan
    Kualitas air sangat berpengaruh terhadap ketahanan hidup kepiting. Penurunan mutu air dapat terjadi karena kelebihan sisa pakan yang membusuk. Bila kondisi kepiting lemah, misalnya tidak cepat memberikan reaksi bila dipegang atau perutnya kosong bila dibelah, kemungkinan ini akibat dari menurunnya mutuair. Untuk menghindari akibat yang lebih buruk lagi, selekasnya pindahkan kepiting ke tempat pemeliharaan lain yang kondisi airnya masih segar.
Ø  Siklus Hidup Kepiting Bakau S. serrata
Kepiting bakau di alam melangsungkan perkawinan di perairan hutan mangrove dan secara berangsur-angsur sesuai perkembangan telurnya, kepiting bakau betina akan berimigrasi ke perairan laut atau menjauh dari pantai, untuk mencari perairan yang parameter lingkungannya (terutama suhu dan salinitas perairan) cocok, sebagai tempat memijah, sedangkan kepiting bakau jantan setelah melakukan perkawinan akan tetap berada diperairan hutan mangrove, tambak atau sela-sela perakaran mangrove (Fujaya, 2004).
Setelah itu, induk kepiting betina berimigrasi ke pantai sambil membawa telur-telur terbuahi yang dilekatkan di pleopod dan akan menetas dalam beberapa minggu. Setelah telur menetas di perairan laut, masuk pada stadia larva tingkat I (zoea I) yang akan terus berganti kulit (moulting), kemudian terbawa arus ke perairan pantai hingga mencapai stadia zoea V (pascalarva), kurang lebih 18 hari. Selanjutnya stadia zoea V akan mengalami pergantian kulit menjadi megalopa (11-12 hari), yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, kecuali masih memiliki bagian ekor. Kemudian memasuki stadia juvenil yang disebut juga stadia kepiting muda, karena sudah berbentuk kepiting dengan organ tubuhnya yang lengkap (Soim, 1994). Dari tingkat megalopa ke kepiting muda memerlukan waktu sekitar 15 hari. Menurut Siahainenia (2008), Kepiting bakau muda akan bermigrasi kembali ke hulu estuari, kemudian berangsur-angsur memasuki hutan mangrove, hingga berkembang menjadi kepiting bakau dewasa. Menurut Juwana (2006), dalam pertumbuhannya kepiting dewasa melakukan pergantian kulit (moulting) sebanyak 17-20 kali bergantung pada kondisi lingkungan dan ketersedian makanan. Kepiting mampu bertahan hidup selama 2-3 tahun.Lebih jelasnya siklus hidup kepiting bakau disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Siklus Hidup Kepiting Bakau (Sihainenia, 2008)
Siklus hidup Kepiting Bakau sejak telur mengalami fertilisasi dan lepas dari tubuh induk betina akan mengalami berbagai macam tahap, yaitu:
Keterangan:
  1. Sekali perkawinan bisa 3 kali memijah.
  2. Pelepasan telur bisa terjadi setengah jam dan proses penetasan
    dapat berlangsung selama 3 hari.
  3. Proses perkembangan telur hingga penuh berlangsung selama 30 hari.


Ø  Perbedaan hewan jantan dan hewan betina
Secara eksternal, kepiting jantan dan kepiting betina dapat dibedakan dari bentuk abdomennya.Bentuk abdomen pada betina bulat sedangkan bentuk abdomen jantan lebih langsing dan meruncing.Kepiting bakau jantan memiliki abdomen yang berbentuk agak lancip menyerupai segitiga sama kaki, sedangkan kepiting bakau betina dewasa memiliki abdomen yang agak membundar dan melebar (Kordi 2012).
Membedakan jenis kelamin juga dapat dilakukan dengan membandingkan pertumbuhan berat capit terhadap berat tubuh. Kepiting jantan dan betina yang lebar karapasnya 3-10 cm berat capitnya sekitar 22% dari berat tubuh, setelah ukuran karapasnya mencapai 10-15 cm, capit kepiting jantan menjadi lebih berat yakni 30-35% dari berat tubuh, sementara capit betina tetap sama 22% (Soim 1994). 
Gambar Perbedaan Kepiting Jantan dan Betina

Kepiting bakau jantan dewasa memiliki ukuran capit yang lebih besar dari  pada betina untuk umur dan ukuran tubuh yang sama betina membulat dan melebar(Kordi 2012). Namun,pada kepiting betina atau kepiting jantan muda capitnya lebih pendek (Soim 1994). Jika dalam keadaan normal capit kanan lebih besar dari capit kiridengan warna kemerahan pada masing-masing ujung capit (Kasry 1991).
2.      PERSYARATAN LOKASI/CALON LOKASI HATCHERY

Ø  Sumber Air
Pemilihan lokasi merupakan faktor utama dalam menentukan keberhasilan pembenihan kepiting bakau lokasi pembenihan harus berada di tepi pantai, hal ini dikarenakan untuk penyediaan air laut sebagai media pemeliharaan. Air laut tersebut sebelum dimasukkan ke bak pemeliharaan terlebih dahulu disaring dengan menggunakan filter bag.  Bak yang akan digunakan berada didekat pantai dan penyediaan air laut lebih mudah untuk disalurkan secara langsung dengan cara dipompa, maka harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.      Kondisi dasar laut tidak berlumpur.
b.      Air laut yang dipompa harus bersih, jernih dan tidak tercemar dengan salinitas 30 – 34 ppt.
c.      Air laut dapat dipompa secara terus menerus minimal selama 20 jam.

Ø  Sumber Listrik
Sebuah sarana Hatchery harus di lengkapi dengan listrik yang dapat menunjang kegiatan dan operasional pembenihan. Kegunaan lain dari asumber listrik adalah dapat menunjang kegiatan-kegiatan tambahan yang dilakukan didalam pembenihan seperti mendukung kegiatan manusia yang beraktivitas didalamnya.
Ø  Infrastruktur Lainnya
ü  PendekatanSosial
Jenispendekatansosialekonomi dan budaya yang dapatdilakukanadalahsebagai berikut:
1.      Menginformasikan lapangan kerja yang ada pada instansi terkait.
2.      Mengutamakan tenaga kerja lokal.
3.      Pemberian gaji sesuai dengan UMR yang berlaku dengan berpedoman pada peraturan ketenagakerjaan termasuk asuransi sesuai dengan tentang pokok-pokok ketenagakerjaan dan Undang-undang tentang jaminan tenaga kerja.
4.      Melakukan kerjasama di dalam pelatihan petugas pengelolaan lingkungan.
5.      Melatih semua tenaga kerja terutama tenaga kerja lokal sebelum ditugaskan.
6.      Membuat program community development berupa bantuan sosial  ekonomi dan lingkungan hidup kepada masyarakat di sekitar lokasi proyek sesuai dengan kemampuan perusahaan.
7.      Melakukan pendekatan-pendekatan kepada masyarakat supaya terjadi interaksi sosial yang harmonis dengan masyarakat di sekitar lokasi, guna mencegah terjadinya kecemburuan dan konflik sosial.

ü  Pendekatan Institusional
            Upaya yang akan dilakukan dalam pendekatan institusional yaitu:
1.      Dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan dilakukan kerjasama antara institusi dan aparat pemerintah setempat.
2.      Membuat satu lembaga pengelolaan lingkungan dalam organisasi perusahaan.
3.      Dilakukan penyusunan sistem dan mekanisme kerja dalam pengawasan implementasi program pengelolaan lingkungan yang direncanakan dalam dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan.
4.      Menciptakan kerjasama diantara perusahaan dengan instansi terkait dalam pengelolaan dampak lingkungan (Tang, 2003).

3.      SARANA DAN PRASARANA HATCHERY
        
Ø  In-dor
a)      Bak induk
b)      Bak larva dan post-larva.
c)      Bak pakan alami
d)     Bak pemijahan.
e)      Sistemaerasi..
f)       Pompanisasi.
g)      Bakpemeliharaanjuvenile
Ø  Out-dor
a)      Rumah Pompa
b)      Bak penampungan air
c)      Bak pengendapan air laut
d)     Bak sand filter air laut
e)      Bak stirilisasi air laut
f)       Bak tower air laut
g)      Bak tandon air laut
h)      Bak tandon air tawar
i)        Rumah Pompa
j)        Rumah jaga/laboratorium
Ø  Prasarana
Panti Pembenihan Kepiting Bakau memerlukan prasarana yang umum pada panti panti pembenihan udang  terperinci sbb.:
  1. Fasilitas  pengadaaan air laut dan air tawar : berupa bangunan dan bak-bak untuk penyaringan air dilengkapi dengan system filter, system airasi.
  2. Fasilitas bak-bak dibuat dari beton dan/atau fiber glass  sesuai dengan kapasitasnya, untuk keperluan pemeliharaan calon induk, pematangan gonad, perkawinan;  bak-bak penetasan telur (untuk induk yang mengerami), bak pemeliharaan larva  ,megalopa dan crablets), bak kultur fitoplankton, zooplankton dan penetasan Artemia.
  3. Bangunan pendukung : Bangsal tempat panen dan packing, laboratorium pemeriksaan kualitas air dan penyakit, persiapan pakan tambahan, gudang penyimpanan bahan kimia, obat-obat, dsb.
  4. Bangunan pelengkap : kantor manajemen dan administrasi, asrama tehnisi, dapur, garasi,  ruang pengepakan hasil, dsb.
  5. Peralatan penting : seperti pompa- pompa penyedot/ celup untuk air laut dan air tawar,  sesuai dengan kebutuhan, blower, unit mesin pembangkit listrik (Gen set), refrigerator, kendaraan roda-4 dan roda-2. telepon , computer, dsb. 
4.      TEKNIK PRODUKSI BENIH
Ø  Pengelolaan induk
Sebelum transportasi dianjurkan untuk melakukan perendaman kepiting dalam air garam yang bersih (kadar garam 25-34 ppt) selama 3-5 menit untuk menghindari dehidrasi selama transportasi. Pada saat transportasi sebaiknya kepiting disimpan dalam kondisi suhu rendah.Induk yang telah ditransportasi direndam dalam larutan formalin 200 ppm selama 15-20 menit untuk mencegah adanya kontaminasi dari luar.
Bak pemeliharaan induk dapat berupa bak beton ataupun fiberglass dengan menggunakan substrat pasir putih setebal 5 cm dan sistem air mengalir.Ketinggian air dalam tangki berkisar 40-50 cm. Padat tebar induk dalam bak berkisar 1 ekor per m2. Pemberian pakan berupa daging kerang laut dan ikan rucah dengan perbandingan 1:1 dengan dosis 15% bobot tubuh pada induk dengan tingkat kematangan gonad (TKG) I dan menurun sampai 5% pada TKG IV atau menjelang pemijahan.
Calon induk dan induk kepiting dapat diperoleh dari hasil penangkapan di alam. Dengan syarat , anggota badannya utuh tidak ada cacat dan tidak ada penyakit. Calon induk dan induk kepiting dipelihara didalam bak-bak didalam Panti Pembenihan.
Pematangan gonad dilakukan dengan tehnik ablasi satu mata pada kepiting betina . Tehnik ablasi ini mendorong mempercepat proses pematangan gonad pada binatang Krustasea pada umumnya (termasuk udang dan Kepiting). Selain itu, agar proses pematangan gonad berhasil sempurna, harus juga di barengi dengan pemberian pakan yang bernilai gizi sesuai dengan kebutuhan kepiting , dan pengelolaan kualitas air yang sesuai.
Telah diketahui juga bahwa bak pemeliharaan induk harus diberi dasar Lumpur agar perkembangan gonad menjadi baik ( telur yang dihasilkan banyak dan kemampuan pertumbuhan larvaakanbaik). Induk kepiting setelah diablasi dipelihara di dalam bak yang di beri dasar lapisan Lumpur , kedalaman air 50-80 cm diatas lapisan Lumpur , cukup aerasi dengan 1 batu aerasi per –m2 . Pakan berupa daging cumi-cumi , ikan , kekerangan yang segar dengan dosis ransum 5-10% berat biomassa per-hari yang diberikan 2 kali pagi dan sore. Untuk kelengkapan gizi, dapat diberi pelet kering berkualitas seperti untuk induk udang windu ( kadar protein 40%), sebanyak 2-3 % biomassa per-hari dan diberikan 2-3 kali per-minggu.


Ø  Proses Pemijahan Dan Penetasan Telur
Kepiting bakau betina yang sudah matang gonad kemudian ditempatkan ke dalam kolam pemijahan yang berupa bak beton yang diberi sustrat pasir dan pipa PVC dengan ukuran panjang 30 cm dengan dan diameter 20 cm yang bisa digunakan sebagai kakaban atau tempat kepiting bersembunyi. Menjelang perkawinannya, kepiting betina mengeluarkan cairan kimiawi perangsang yaitu pheromone kedalam air yang akan menarik perhatian kepiting jantan. Selanjutnya kepiting jantan yang berhasil menemui kepiting betina sumber pheromone itu, lalu naik ke atas karapas kepiting betina yang sedang dalam kondisi pra lepas cangkang (premolt).Kepiting jantan tsb.membantu proses ganti kulit kepiting betina tsb. Selama kepiting betina mengalami proses ganti kulit, kepiting jantan akan melindungi nya selama kurang lebih 2-4 hari sampai cangkang terlepas dari tubuh kepiting betina . Kondisi seperti itu disebut “doubler formation” atau “ premating embrace”.
Setelah cangkang terlepas dari tubuh kepiting betina, tubuh betina dibalikkan oleh yang jantan sehingga sekarang pada posisi berhadapan untuk terjadinya kopulasi.Semetara itu cangkang betina masih dalam keadaan lunak. “Spermatofora” dari kepiting jantan akan disimpan didalam “spermateka” kepiting betina. Menurut Fielder dan Heasman,1978dalam Mardjono dkk., 1991). Perkawinan kepiting ini dapat terjadi di waktu siang maupun malam hari.Fielder dan Heasman (1978) mengungkapkan bahwa spermatofora yang tersimpan pada kepiting betina sekali kawin mencukupi untuk pembuahan dua kali peneluran sekor kepiting betina. Telur yang telah matang gonad dalam ovarium betina akan turun ke oviduct dan dibuahi oleh sperma, selanjutnya telur yang telah dibuahi itu dikeluarkan lalu menmpel pada umbai- umbai (rambut-rambut pada pleopoda) untuk dierami oleh induk betina itu. Sekali bertelur induk kepiting dapat
mengeluarkan 1-8 juta butir telur , tergantung dari berat badan induk betina. , namun biasanya yang berhasil menempel pada umbai-umbai hanya 1/3 nya.
Induk kepiting bakau betina akan mengeluarkan telur yang kemudian akan melekat pada akar rambut yang terdapat pada kaki renang di sekitar katup perut. Pengecekan dan penyortiran perlu dilakukan pada induk pembawa telur pada saat penggantian air.Induk kepiting betina yang sudah matang telur dipindahkan satu per satu ke dalam wadah berisi 300 liter air yang mempunyai salinitas 32 ppt dan dilengkapi dengan aerator.
Lama pengeraman telur 10-12 hari, menetas menjadi Pre-zoea yang setelah 30 menit, berubah menjadi Zoea-1 yang hidup planktonis dan makanannya terdiri fitoplankton : Chaetoceros sp. , Tetraselmis sp. dan zooplankton yang ukurannya lebih kecil-kecil : Brachionus sp. dan nauplii Artemia.. Zoea bermetamorfosa setiap 3-4 hari untuk ber-turut-turut menjadi Zoea-2, Zoea-3, Zoea-4 dan Zoea -5. Total lamanya 18-20 hari, berubah menjadi stadia Megalopa. Megalopa berumur 5-7 hari berubah menjadi Crablet , yaitu benih kepiting kecil yang organ tubuhnya sudah menyerupai kepiting besar. Crablet berganti kulit setiap 4-7 hari berganti kulit dan tumbuh menjadi berukuran lebih besar.Pada umur 50-70 hari Crablet sudah dapat di jual sebagai benih kepiting untuk di deder ditempat yang lebih luas.
5.      PENGELOLAAN LARVA
Ø  Cara dan Teknik Perhitungan Larva
Larva yang baru menetas , diperoleh dari bak penetasan dinama induk yang mengeram di pelihara secara terpisah.  Setelah pre-zoea berubah menjadi zoea -1 , saatnya untuk dipindahkan ke bak pemeliharaan larva.Pemindahan larva dilakukan pada pagi atau sore hari. Lrva dikumpulkan dengan menggunakan gayung atau “cimplung” agar larva terambil bersama massa airnya. Selanjutnya ditampung di dalam ember sambil diaerasi lambat.  Bila sudah terkumpul dalam jumlah cukup banyak, larva di pindah dalam waskom , lalu diapungkan dipermukaan air bak larva untuk 30 menit lamanya , sambil sedikit demi sedikit air dari bak yang akan ditebari itu dimasukkan sedikit demi sedikit kedalam waskom agar teraklimatisasi. Akhirnya waskom dimiringkan sehingga larva dapat keluar sendiri menyebar kedalam air bak pemeliharaan larva itu.
Kepadatan larva didalam bak pemeliharaan  75-100 ekor /liter.  Jadi satu bak larva yang volume airnya 4000 liter  (4 m3) dapat ditebari 400 000 ekor Zoea-1 Larva sejumlah itu berasal dari seekor induk kepiting saja. Bahkan dari seekor induk , larvanya dapat ditebar kedalam bak yang volume airnya 8 m3. Larva kepiting sangat bersifat kanibal.Karena itu kepadatan sangat mempengaruhi tingkat sintasannya, apalagi kalau pakan nya tidak mencukupi. Pakan yang kurang menyebabkan perkembangan larva tidak sehat, sehingga banyak mati , selain kanibalisme.  Sewbvaliknya bila pakan berlebihan, akan menyebabkan mutu air memburuk, menyebabkan banyak kematian juga pada larva. 

Ø  Sistem Aerasi
Sistem Aerasi Berguna menjaga kadar oksigen didalam air dan menjamin kelangsungan hidup plankton dalam bak. Kesesuaian sistem aerasi yang ada dengan skala produksi perlu diperhatikan. Apabila kegiatan pembenihan yang dilakukan dalam skala besar/menengah, kita bisa menggunakan blower atau kompresor, sedangkan apabila kita melakukan kegiatan pembenihan dalam skala kecil cukup hanya menggunakan aerasi aquarium.
Media pemeliharaan larva digunakan air yang diambil langsung dari laut yang jernih, yang disaring dengan saringan pasir, disusul dengan penyinaran sinar ultra violet atau perlakuan dengan klorine 50 ppm untuk sterilisasi dari bacteria dan lain lain organisme renik yang mungkindapat menimbulkan pengakit pada larva kepiting. Salinitas 30-33 ppt, pH 7,5 – 8,5. Kadar oksigen terlarut harus diupayakan stabil antara 6-7 ppm, dengan memasang aerasi. Jumlah batu aerasi 1 per-m2 dengan jarak antar batu aerasi 0,5 m, yang digantung dengan bantuan tali membentuk segi empat dimana setiap sudutnya digantungkan batu aerasi, sebagaimana lazimnya pada bak pemeliharaan larva udang. Kekuatan aerasi diatur agar tidak terlalu kuat dan tidak terlalu lemah.Fungsi dari aerasi itu selain untuk menambah kelarutan oksigen dalam air, juga untuk menggerakkan pakan larva agar selalu dalam kondisi melayang diair agar tidak mudah tenggelam didasar.
Ø  Pemeliharaan Larva
a)      Bak Pemeliharaan Larva
Bak untuk pemeliharaan larva kepiting dapat berbentuk bulat, oval ataupun segi empat. Ataupun bentuk-bentuk lain. Pada dasarnya bak yang biasa untuk memlihara larva udang dapat juga untuk memelihara larva kepiting.Yang terpenting ialah bahwa bak tidak boleh mempunyai sudut tajam sehingga merupakan “sudut mati “dimana akan terkumpul kotoran disitu. Bahkan larva itu sendiri akan terjebak pada sudut itu.
Dasar bak harus di didesain agar cukup miring supaaya dapat dengan tuntas dikeringkan. Pembuangan air berupa “pipa goyang “ atau “system sifon” agar pembuangan air mudah dan tuntas. Volume bak sebaiknya tidak terlalu besar, cukup 5 – 10 m3 dengan kedalaman bak 1m.Sehingga diisi air dengan kedalaman maksimum 80 cm. Ukuran ini akan memudahkan dalam pengelolaan , seperti penggantian air; sedangkan larva yang dipelihara sebaiknya dapat terdiri dari larva yang seumur (hari menetasnya bersamaan ) walaupun dari induk yang berbeda. Hal ini penting untuk mengurangi kemungkinan perbedaan laju pertumbuhan sehingga akan cenderung kanibal.
b)     Media Pemeliharaan
Media pemeliharaan larva digunakan air yang diambil langsung dari laut yang jernih, yang disaring dengan saringan pasir, disusul dengan penyinaran sinar ultra violet atau perlakuan dengan klorine 50 ppm untuk sterilisasi dari bacteria dan lain lain organisme renik yang mungkindapat menimbulkan pengakit pada larva kepiting. Salinitas 30-33 ppt, pH 7,5 – 8,5. Kadar oksigen terlarut harus diupayakan stabil antara 6-7 ppm, dengan memasang aerasi. Jumlah batu aerasi 1 per-m2dengan jarah antar batu aerasi 0,5 m, yang digantung dengan bantuan tali membentuk segi empat dimana setiap sudutnya digantungkan batu aerasi, sebagaimana lazimnya pada bak pemeliharaan larva udang. Kekuatan aerasi diatur agar tidak terlalu kuat dan tidak terlalu lemah.Fungsi dari aerasi itu selain untuk menambah kelarutan oksigen dalam air, juga untuk menggerakkan pakan larva agar selalu dalam kondisi melayang diair agar tidak mudah tenggelam didasar.
c)      Penebaran
Larva yang baru menetas , diperoleh dari bak penetasan dinama induk yang mengeram di pelihara secara terpisah. Setelah pre-zoea berubah menjadi zoea -1 , saatnya untuk dipindahkan ke bak pemeliharaan larva. Pemindahan larva dilakukan pada pagi atau sore hari. Lrva dikumpulkan dengan menggunakan gayung atau “cimplung” agar larva terambil bersama massa airnya. Selanjutnya ditampung di dalam ember sambil diaerasi lambat. Bila sudah terkumpul dalam jumlah cukup banyak, larva di pindah dalam waskom , lalu diapungkan dipermukaan air bak larva untuk 30 menit lamanya , sambil sedikit demi sedikit air dari bak yang akan ditebari itu dimasukkan sedikit demi sedikit kedalam waskom agar teraklimatisasi. Akhirnya waskom dimiringkan sehingga larva dapat keluar sendiri menyebar kedalam air bak pemeliharaan larva itu.Kepadatan larva didalam bak pemeliharaan 75-100 ekor /liter.Jadi satu bak larva yang volume airnya 4000 liter (4 m3) dapat ditebari 400 000 ekor Zoea-1 Larva sejumlah itu berasal dari seekor induk kepiting saja. Bahkan dari seekor induk , larvanya dapat ditebar kedalam bak yang volume airnya 8 m3.  Larva kepiting sangat bersifat kanibal.Karena itu kepadatan sangat mempengaruhi tingkat sintasannya, apalagi kalau pakan nya tidak mencukupi. Pakan yang kurang menyebabkan perkembangan larva tidak sehat, sehingga banyak mati , selain kanibalisme. Sebaliknya bila pakan berlebihan, akan menyebabkan mutu air memburuk, menyebabkan banyak kematian juga pada larva.
6.      PENGELOLAAN KUALITAS AIR

Ø  Instalasi Air (Tawar, Payau, Laut/asin

v  Instalasi air Tawar
Air tawar sangat berguna dalam kegiatan pembenihan, Kegunaan air tawar ini untuk mencuci bak dan peralatan, untuk keperluan para pekerja sehari-hari .dan untuk mengencerkan kadar garam pada air media pemeliharaan itu sendiri bila diperlukan. 

v  Instalasi air laut
Pada umunya,lokasi hatchery terletak dekat laut/pantai yang profil dasar perairannya bersih dan mudah untuk dijangkau. Sumber air untuk pemeliharaan larva kepiting bakau berasal dari air laut yang telah disaring dengan filter pasir, kemudian disterilkan dengan sodium hipoklorit dan netralkan dengan sodium tiosulfat.

Ø  Kualitas Air
Sumber air yang cocok bagi kepiting bakau adalah air payau dan air asin, karena kepiting adalah penghuni daerah pantai. Kadar garam yang dapat memberikan produksi tinggi berkisar antara 15-30 promil, meskipun kepiting masih bisa hidup di bawah 15 promil dan di atas 30 promil. Keadaan ini didasarkan pada daur hidup kepiting.
Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas yang diinginkan sesuai fungsi peruntukannya untuk menjamin agar kualitas air tetap dalam kondisis alamiahnya. Pengelolaan kualitas air yang kontinyu merupakan faktor eksternal lain yang menentukan keberhasilan usaha budidaya, karena berkaitan yang erat antara lingkungan perairan dengan berkembangnya hama dan penyakit pada organisme air tawar yang dipelihara.

Tabel 1. Beberapa nilai parameter kualitas air yang dapat ditolerir kepiting bakau
No
Parameter Kualitas Air
Nilai
Satuan
1
Suhu
27-30
oC
2
Salinitas
25-34
Ppt
3
pH
7-8,5
-
4
Oxygen
3,5-6
Ppm
5
Kecerahan
30-60
Ppm
6
Amoniak
< 0,5
Ppm
7
Nitrit
< 0,05
Ppm
Ø  Sumber: Syaripudin (2004)
Kualitas air mencakup sifat fisika, kimia dan sifat biologi air. beberapa parameter kualitas air, yangmerupakan parameter kunciyang sangatberpengaruh terhadap kehidupan ikan diantaranya:oksigen terlarut, BOD, CO2 pH, alkalinitas,kesadahan, fosfat terlarut, nitrat, nitrit,kecerahan, suhu, dan kelimpahan plankton.

Ø  Sistem penggantian air
Penggantian air dilakukan dengan lebih dahulu menyedot air dari dasar bak menggunakan sipon yaitu slang berdiameter 2 -3 inci yang diberi tutup ujungnya dengan kain kelambu yang lubangnya tidak terlalu kecil, memungkinkan kotoran yang mengendap didasar bak tersedot. Sebagian air dari dasar bak akan terbuangsebanyak 20-40% volume. Kemudian bak diisi lagi dengan air yang masih segar dansalinitas 30-33ppt , suhu 28-30 oC sama dengan air yang lama. Sedangkan kadarOksigen tentu dapat dipertahankan 6-7 ppm bila aerator terus menerus terpasang.Dan dijaga kebersihannya. Kotoran-kotoran dan sisa-sisa pakan didalam air akanmembusuk dan menyerap banyak O2. Karena itu kebersihan air dan dasar sertadinding bak harus dijaga, dengan cara di sipon dengan cermat.
Penggantian air itu dimulai pada zoea-2 sebanyak 20% setiap 2 hari sekali ,sampai Zoea-3 , selanjutnya sampai Zoea 5 ganti air sebanyak 40%Pada stadium Megalopa, sebaiknya dipanen, untuk memindahkan Megalopa kedalam bak lain yang sudah dipersiapkan dalam kondisi bersih dan diberi rumbai rumbai untuk persembunyian terhadap sesamanya. Megalopa bersifat benthic yaitusenang berada didasar bak. Ukuran besarnya panjang karapas 2,1 mm, panjangabdomen 1,87 mm, panjang tubuh total dari ujung duri rostral sampai ujung belakangabdomen 4,1mm. Padat penebaran Megalopa 10-20 ekor/M3.diperkirakan dapat mengurangi sifat kanibalisme.

7.      PENGELOLAAN PAKAN

Ø  Jenis, kualitas dan kuantitas pakan

1.      Pakan Alami
Dalam pemeliharaan larva kepiting diberi pakan berupa pakan alami dari berbagai organisme planktonhewani (zooplankton) danfitoplankton yang ukurannya sesuai dengan stadia Zoea.Pakan untuk Zoea – 1 sampai Zoea-3.berupa zooplankton Brachionus sp dan fitoplankton jenis Chaetoceros sp. yang dihasilkan dari kultur di laboratorium. Pakan untuk Zoea- 4 dan Zoea -5 dan Megalopa berupa nauplii Artemia yang ditetaskan dari kista Artemia dan fitoplankton Chaetoceros sp. dan ditembah Tetraselmis sp.. Kegunaan dari fitoplankton itu walaupun mungkin secara langsung tidak dimakan oleh larva kepiting, tetapi berguna sebagai penyeimbang lingkungan dalam air karena fitoplankton itu dalam proses fotosintesisnya dapat menyerap zat- zat hara yang beracun bagi larva kepiting yang dipelihara. Dosis Brachionus , Chaetoceros yang diberikan kira-kira 10 liter ( satu ember) kultur yang sudah disaring sehingga padat untuk bak volume 1 M3. Demikian juga Tetraselmis sp. juga sebanyak 10 liter kultur yang sudah disaring. Sedangkan untuk Zoea-4, Zoea-5 dan Megalopa dosis nauplii Artemia diperkirakan 2 gram kista ditetaskan untuk diberikan kepada setiap 100 000 larva kepiting. Jadi jika kita memelihara seluruhnya 5 juta larva kepiting , maka setiap hari perlu di tetaskan kista artemia sebanyak 10 gram.Tetasan nauplii artemia tsb.diberikan pada pagi hari, setelah dilakukan pembersihan bak dengan sipon dan air bak dig anti 1/3 volume dengan air yang segar.
2.      Pakan Buatan
            Dalam pemeliharaan larva kepiting selain pakan alami juga diberi pakan buatan. Pakan buatan mengacu kepada jenis pakan yang diberikan kepada larvavudang windu. Tujuan pemberian pakan buatan ini untuk melengkapi zat nutrisi yang kemungkinan tidak terdapat pada pakan alami. Larva kepiting mulai stadium Zoea -1 sudah dapat memakan pakan buatan . banyaknya ransum dan ukuran jenis pakan buatan yang diberikan dirubah sesuai dengan tingkat perkembangan larva. Larva stadium Z-1 dan Z-2 diberi pakan sebanyak 0,5 ppm. Artinya kedalam bak pemeliharaan larva yang volume airnya 1 M3 (1000 liter) diberi pakan berupa butir-butir mikropelet sebanyak 0,5 gram . Jika volume air 5 M3 maka banyaknya pakan 5 x 0,5 gram. = 2,5 gram.per-M3 volume air bak Untuk stadium Zoea-3, dosis pakan 0,6 ppm ; atau sebanyak 0,6 gram per-M3 air bak. Untuk stadium Zoea-4 , dosis pakan 0,65 ppm ; atau sebanyak 0,65 gram per-3M air bak.  Untuk stadium Zoea-5, dosis pakan 0,75 ppm ; atau sebanyak 0,75 gram per-M air bak. 
Mulai stadium Megalopa sampai instar ( stadium Crab) ransum pakan ditingkatkan menjadi 1 ppm sekali pemberian. Pemberian pakan buatan (mikropelet) tsb.sehari diberi kan 6 kali , yaitu berselang waktu 4 jam. Dengan cara itu diharapkan larva dapat terus menerus mendapat makanan, pakan tidak boleh berlebihan dan karena selalu ada pakan didalam air pemeliharaan, larva menjadi berkurang sifat kanibalisme-nya. Ukuran partikel pakan juga harus disesuaikan dengan ukuran stadium larva. Untuk stadium Zoea-1 sampai Zoea-5 ukuran pelet 50 mikron, diberbesar bertahap sampai 100 mikron . Selanjutnya untuk stadium Megalopa dan Crab ukuran pellet lebih besar yaitu 200 mikron sampai 500 mikron.Ukuran-ukuran besarnya mikropelet itu dapat di baca pada kaleng wadah pakan larva yang dijual.  Stadium Megalopa lebih suka tinggal didasar bak (benthic)dan makan Artemia yang sudah ditetaskan berumur 4-5 hari (instar 4-5). Dosis pakan tetasan kista sebanyak 3 gram untuk 100 000 ekor Megalopa per-hari. Ukuran panjang total tubuhnya 4,1 mm. Sifatnya cenderung kanibal. Sehingga terjadi banyak penyusutan jumlahnya. Untuk mengurangi kanibalisme, di dalam air bak perlu diberi tempat persembunyian berupa rumbai-rumbai yang dapat dibuat dari tali rafiyah yang diikat segerombol diberi pemberat agar dapat ditegakkan didalam air. Jumlah rumbai- rumbai ini hendaknya cukup banyak. Lama masa Megalopa ini 7 hari, bermetamorfosa menjadi stadium Crablet (benih kepiting).Pada stadium Crab-1 sampai Crab-5 yaitu benih kepiting , bentuk dan organ tubuhnya sudah seperti pada kepiting dewasa.Panjang karapas 2 mm sampai 3 mm;berat badannya 5 – 9 mg. Pada stadia Crab anakan kepiting makan dari dasar bak Pakan yang diberikan berupa daging ikan , cumi-cumi yang masih segar dan dibersihkan, lalu dicacah .
Pakan yang baik untuk pembesaran ikan dalam keramba jaring apung adalah bentuk pelet yang tidak mudah hancur, tidak cepat tenggelam serta mempunyai aroma yang merangsang nafsu makan ikan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih pakan yaitu kandungan gizi pakan, sifat fisik, warna, dan aromanya. Berdasarkan hasil penelitian, kadar protein 26-28% dan kadar lemak 6-8% cukup baik untuk pembesaran ikan mas, nila, dan gurame. Sifat fisik pakan antara lain yaitu permukaan pelet halus dan licin serta bagian yang hancur (debu) dalam kemasan kurang dari 5%. Warna pelet tidak keputih-putihan (berjamur) dan tidak berbau tengik atau apak yang menandakan pelet telah disimpan lama atau dibuat dari bahan yang kurang baik kualitasnya. Pakan harus disimpan dalam tempat yang kering, tertutup dan lamanya penyimpanan tidak lebih dari 6 minggu. Jumlah pakan yang diberikan harus dapat dikonsumsi ikan secara utuh (keseluruhan) karena dapat mengurangi pencemaran perairan dan kepastian ikan memperoleh pakan sesuai dengan kebutuhannya pada setiap satu kali pemberian. Pemberian pakan harus memperhatikan agar pakan tidak lolos ke luar keramba, diberikan sedikit demi sedikit merata di permukaan air dengan luasan yang cukup. Selain itu, apabila suhu air relatif rendah, oksigen rendah, kesehatan terganggu atau ikan mengalami stres maka nafsu makan atau konsumsi pakan akan menurun.
Ø  Pakan untuk induk/calon induk
Pakan untuk calon induk dan induk kepiting ialah cacahan  daging ikan, cumi-cumi yang masih segar. Pengalaman di BBAP Jepara menunjukkan bahwa cumi-cumi harus diutamakan, karena baik untuk merangsang perkembangan gonad bagi binatang krustasea : udang ,kepiting. (Mardjono dkk,1992). Banyaknya pakan  5-10% berat biomassa perhari.  Pakan sejumlah itu diberikan dua kali per-hari , jam 8.00 pagi dan jam 17. 00 sore. Sebelum pakan diberikan, dasar bak dibersihkan dengan cara menyipon untuk menyedot pakan yang ang masih tersisa. Bila pakan yang tersisa banyak, maka pemberian pakan berikutnya harus dikurangi. Sebaliknya bila pakan tidak bersisa , pakan yang diberikan harus ditambah.   
Pembersihan bak hanya dilakukan pada pagi hari saja, kecuali bila terjadi hal yang buruk, misalnya ada gejala pembusukan dengan terlihatnya banyak busa dipermukaan air, atau air berbau busuk. 
Selain pakan alami berupa daging ikan dan cumi-cumi mentah segar, juga diberi pakan buatan berupa pelet kering yang biasa diberikan untuk induk udang windu. Pakan pellet khusus untuk induk udang itu mengandung nutrisi jang baik sebagai pelengkap ,dengan kandungan protein dan lemak esensial, vitamin dan mineral . Diberikannya cukup 2-3 kali per-minggu, dengan dosis 2 % berat biomassa. 
Ø  Pakan untuk larva sesuai stadia hidup
Pakan untuk Zoea – 1 sampai Zoea-3.berupa zooplankton Brachionus sp dan fitoplankton jenis Chaetoceros sp. yang dihasilkan dari kultur di laboratorium. Pakan untuk Zoea- 4 dan Zoea -5 dan Megalopa berupa nauplii Artemia yang ditetaskan dari kista Artemia dan fitoplankton Chaetoceros sp. dan ditembah Tetraselmis sp.. Kegunaan dari fitoplankton itu walaupun mungkin secara langsung tidak dimakan oleh larva kepiting, tetapi berguna sebagai penyeimbang lingkungan dalam air karena fitoplankton itu dalam proses fotosintesisnya dapat menyerap zat- zat hara yang beracun bagi larva kepiting yang dipelihara. Dosis Brachionus , Chaetoceros yang diberikan kira-kira 10 liter ( satu ember) kultur yang sudah disaring sehingga padat untuk bak volume 1 M3. Demikian juga Tetraselmis sp. juga sebanyak 10 liter kultur yang sudah disaring. Sedangkan untuk Zoea-4, Zoea-5 dan Megalopa dosis nauplii Artemia diperkirakan 2 gram kista ditetaskan untuk diberikan kepada setiap 100 000 larva kepiting. Jadi jika kita memelihara seluruhnya 5 juta larva kepiting , maka setiap hari perlu di tetaskan kista artemia sebanyak 10 gram.Tetasan nauplii artemia tsb.diberikan pada pagi hari, setelah dilakukan pembersihan bak dengan sipon dan air bak dig anti 1/3 volume dengan air yang segar.
Dalam pemeliharaan larva kepiting selain pakan alami juga diberi pakan buatan. Pakan buatan mengacu kepada jenis pakan yang diberikan kepada larvavudang windu. Tujuan pemberian pakan buatan ini untuk melengkapi zat nutrisi yang kemungkinan tidak terdapat pada pakan alami. Larva kepiting mulai stadium Zoea -1 sudah dapat memakan pakan buatan . banyaknya ransum dan ukuran jenis pakan buatan yang diberikan dirubah sesuai dengan tingkat perkembangan larva. Larva stadium Z-1 dan Z-2 diberi pakan sebanyak 0,5 ppm. Artinya kedalam bak pemeliharaan larva yang volume airnya 1 M3 (1000 liter) diberi pakan berupa butir-butir mikropelet sebanyak 0,5 gram . Jika volume air 5 M3 maka banyaknya pakan 5 x 0,5 gram. = 2,5 gram.per-M3 volume air bak Untuk stadium Zoea-3, dosis pakan 0,6 ppm ; atau sebanyak 0,6 gram per-M3 air bak. Untuk stadium Zoea-4 , dosis pakan 0,65 ppm ; atau sebanyak 0,65 gram per-3M air bak.  Untuk stadium Zoea-5, dosis pakan 0,75 ppm ; atau sebanyak 0,75 gram per-M air bak. 
Mulai stadium Megalopa sampai instar ( stadium Crab) ransum pakan ditingkatkan menjadi 1 ppm sekali pemberian. Pemberian pakan buatan (mikropelet) tsb.sehari diberi kan 6 kali , yaitu berselang waktu 4 jam. Dengan cara itu diharapkan larva dapat terus menerus mendapat makanan, pakan tidak boleh berlebihan dan karena selalu ada pakan didalam air pemeliharaan, larva menjadi berkurang sifat kanibalisme-nya. Ukuran partikel pakan juga harus disesuaikan dengan ukuran stadium larva. Untuk stadium Zoea-1 sampai Zoea-5 ukuran pelet 50 mikron, diberbesar bertahap sampai 100 mikron . Selanjutnya untuk stadium Megalopa dan Crab ukuran pellet lebih besar yaitu 200 mikron sampai 500 mikron.Ukuran-ukuran besarnya mikropelet itu dapat di baca pada kaleng wadah pakan larva yang dijual.  Stadium Megalopa lebih suka tinggal didasar bak (benthic)dan makan Artemia yang sudah ditetaskan berumur 4-5 hari (instar 4-5).
Dosis pakan tetasan kista sebanyak 3 gram untuk 100 000 ekor Megalopa per-hari. Ukuran panjang total tubuhnya 4,1 mm. Sifatnya cenderung kanibal. Sehingga terjadi banyak penyusutan jumlahnya. Untuk mengurangi kanibalisme, di dalam air bak perlu diberi tempat persembunyian berupa rumbai-rumbai yang dapat dibuat dari tali rafiyah yang diikat segerombol diberi pemberat agar dapat ditegakkan didalam air. Jumlah rumbai- rumbai ini hendaknya cukup banyak. Lama masa Megalopa ini 7 hari, bermetamorfosa menjadi stadium Crablet (benih kepiting).Pada stadium Crab-1 sampai Crab-5 yaitu benih kepiting , bentuk dan organ tubuhnya sudah seperti pada kepiting dewasa.Panjang karapas 2 mm sampai 3 mm;berat badannya 5 – 9 mg. Pada stadia Crab anakan kepiting makan dari dasar bak Pakan yang diberikan berupa daging ikan , cumi-cumi yang masih segar dan dibersihkan, lalu dicacah .
Dosis pakan perhari diperkirakan sebanyak 50-100 gram untuk 100 000 ekor benih Crab-1 sampai Crab-5. Pemberiannya pakan secara di onggokkan pada 4-5 titik. Sementara diberi pakan itu , aerator dihentikan. Kemudian harus diamati apakah pakan yang diberikan itu segera habis dalam waktu 10 menit. Bila cepat habis, maka selang 3 - 4 jam , perlu diberi lagi cacahan pakan yang sama. Demikian dalam sehari pemberian pakan untuk stadium Crab sebanyak 6 kali. Bila Crab terlihat sangat rakus atau nafsu makan bagus, maka dosis pakan harus dinaikkan. Sebaliknya kalau nafsu makan kurang, atau lambat memakannya, maka pada pemberian berikutnya dosis pakan dikurangi.
Ø  Cara dan waktu pemberian pakan
Jenis pakan
Stadia hidup
Waktu pemberian
Dosis pemberian pakan
Cara pemberian pakan
Brachionus sp Chaetoceros sp
Stadia 1,2 & 3
         3 kali
0,5 ppm
Disemprot
nauplii Artemia
Stadia 4 & 5
         3 kali
2 gram kista 100. 000 larva kepiting
Disemprot
nauplii Artemia
Megalopa
3 kali
2 gram kista 100. 000 larva kepiting
Disemprot
Cacahan daging ikan , cumi-cumi segar
stadia Crab 1-5
2 kali
50-100 gram untuk 100 000 ekor benih
di onggokkan pada 4-5 titik



DAFTAR PUSTAKA


Kementerian kelautan dan perikanan Republik Indonesia, Badan Pengembangan sumberdaya Manusia Kelautan dan perikanan. Pusat penyuluhan kelautan dan perikanan Republik Indonesia Sumber : pusluh.kkp.go.id
Diposkan oleh Pi'i Perikanan Pati di 21.20
Arifin, S. 1993. Budidaya kepiting bakau dengan keramba apung. Techner.08 Th II. Dinas Perikanan Gresik. Jawa Timur. Effendie, M.I., 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. 163 hal. Fatima, H. 1991. Kepiting hidup pilihan pelanggan di Malaysia. Warta Aquakultur, 1 (1) Edisi Juli/ September. Jakarta. Juwana, S. dan Kasijan Romimohtarto, 2000. Rajungan, Perikanan, Cara Budiddaya dan Menu Masakan. Djambatan. 47 hal. Kasri, A. 1991. Budidaya kepiting bakau dan biologi ringkas. Penerbit Bhratara. Jakarta. Baylon, J.C. 2009. Appropiate food  type, feeding schedule and Artemia density for zoea lavae of the mod crab Scylla Paramamosain ( Crustacea: Decapoda:Portinudae). Aquaculture. (In press). 158  hal.  Catacutan. M.R. 2002. Growth and  body composition of juvenile mud crab. Scylla Paramamosain fed different dietary protein and lipid levels and protein to energy  ratio.Aquaculture 208:113–123. 
Afrianto, E dan E. Liviawaty, 1992. Pemeliharaan Kepiting. Kanisius, Yogyakarta, 74 hlm.
Cortes-Jacinto E, Villareal-Colmenares H, CruzSuarez LE, Civera-Cerecedo R,
Nolasco_SoriaH,
 Hernandez-Liamas A. 2005. Effect of different dietary protein and lipid levels on growth and survival of juvenile Australian redelaw crayfish, Cherax quadricarinatus (Von Martens). Aqua Nutr 11: 283-291.   Christensen SM, Macintosh DJ, Phuoong NT. 2005. Pond production of the mud crab Scylla paramamosain (Estampador) and S. olivacea (Hebst) in the Mekong Delta,
Vietnam using two different supplementary diets. Aqua Res 35: 1013-1024.   Dawes, C.J. 1981. Marine Botany. Jhon Wiley and Sons Inc. New York. 628 pp  Effendi, M.I.1978.  Biologi Perikanan. Fakultas Perikanan IPB, Bogor.  Effendi, M.I.1997. Biologi Perikanan. Fakultas
Perikanan IPB, Bogor
 Seminar Nasional XI Pendidikan Biologi FKIP UNS  56